Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Tantangan Menjadi Jurnalis dan Perempuan versi Najwa Shihab

Ketika perempuan dihadapkan dengan banyak pilihan

Aisyah Banowati

FORTUNE Indonesia Summit 2023 yang terselenggara di The Tribrata Dharmawangsa Jakarta resmi selesai kemarin, Kamis (16/3/2023). Hari terakhir, sesi pertama, pergelaran FORTUNE Indonesia Summit 2023 diisi oleh kehadiran Philia Wibowo (Partner and Leader of McKinsey’s People & Organizational Performance Preactive in Southeast Asia) dan Najwa Shihab (Founder Narasi) dalam sesi Fortune Indonesia Most Powerful Women.

Pada sesi kali ini, panggung FORTUNE Indonesia Summit 2023 membahas secara lebih mendalam mengenai salah satu isu yang tengah diperjuangkan oleh banyak orang, yakni kesetaraan gender. Nyatanya, masih ada kesenjangan kesempatan, fasilitas, dan jenjang karier antara perempuan dan laki-laki. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri jika sudah ada kemajuan sederhana di berbagai perusahaan untuk mengatasi isu tersebut. Namun, perlu diperhatikan jika masalah ini masih jauh dari kata selesai. 

Lulusan magister hukum menjadi jurnalis, kenapa tidak?

Popbela.com/Aisyah Banowati

Ketika ditanya mengapa memutuskan menjadi jurnalis padahal lulusan hukum, Najwa Shihab dengan tegas menjawab jika pilihan studi tidak menentukan pilihan karier. Sarjana program studi apapun itu, pilihan profesi adalah salah satu pilihan hidup. 

Namun, tak dapat dipungkiri jika waktu yang dihabiskannya menjadi mahasiswa hukum telah membuatnya terbiasa untuk mengasah logika, menyusun argumen, merumuskan persoalan, dan menurutnya semua skill yang dipelajari seorang mahasiswa hukum akan membantu dalam menentukan karier atau pilihan hidup lainnya. 

Bekal yang diperoleh saat masih menjadi mahasiswa hukum telah membantu Najwa Shihab mempelajari kemampuan untuk menemukan sudut pandang dalam melihat suatu persoalan, kemampuan untuk menguak lubang kejanggalan, kemampuan untuk merumuskan pertanyaan jitu untuk membongkar alibi dan kedustaan politisi. 

“Karena saya merasa skill yang saya peroleh itu membantu saya dalam pemilihan perjalanan profesi yang sudah 23 tahun hingga saat ini,” tutur Najwa Shihab. 

Perempuan dan profesi jurnalis

Popbela.com/Aisyah Banowati

Jurnalis sekaligus founder Narasi, Najwa Shihab, membeberkan jika profesi jurnalis adalah pekerjaan yang cukup menantang—baik untuk laki-laki maupun perempuan. Data menunjukkan ancaman terhadap jurnalis punya angka yang cukup tinggi. Di era digital saat ini, di mana informasi sangat bergantung dengan teknologi, membuat kekerasan berubah menjadi kekerasan digital. 

Hasil survei UNESCO, sebanyak 73% jurnalis perempuan mendapatkan intimidasi, pelecehan, dan ancaman secara online terkait kerja-kerja jurnalistik mereka. “Dan saya bisa mengkonfirmasi hal ini karena saya juga mengalaminya. Tapi, sekali lagi, ini dunia yang memang dalam tanda kutip keras, identik dengan maskulinitas, tantangannya ada. Terlebih, terhadap jurnalis perempuan,” ungkap Najwa Shihab. 

Alasan di balik berdirinya Narasi

instagram.com/fortune.idn

Membicarakan media, kebanyakan perusahaan media di Indonesia didirikan oleh laki-laki. Menurut data, pada umumnya, sangat sedikit founder atau pemilik media yang keseluruhannya adalah perempuan. 

Jika digali, ada banyak isu dan keresahan yang dirasakan oleh perempuan. Kurangnya kesempatan untuk mengartikulasi gagasan, ide, keresahan, kemarahan—terutama dalam percakapan publik—karenanya penting bagi kita untuk bangga dengan profesi sebagai seorang jurnalis.

Di sisi lain, Najwa Shihab dan kedua rekannya—seluruhnya adalah perempuan—mendirikan Narasi untuk memiliki media yang total independen. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang mengubah banyak hal, termasuk cara untuk mengkonsumsi informasi, maka berdirilah Narasi dalam bentuk media digital. 

Popbela.com/Aisyah Banowati

“Kesetaraan dunia kerja tidak akan mungkin tercapai kalau tidak ada kesetaraan pembagian pekerjaan rumah tangga. Kuncinya demokrasi domestik,” tutur Najwa Shihab. 

Perempuan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan-pilihan sulit. Jargon “Girls can do with all” berubah menjadi “Women we have to do with all”, seolah-olah semua harus dikerjakan oleh perempuan. Mulai dari urusan domestik—pekerjaan rumah—yang harus tetap beres dan karier yang tetap cemerlang jika memutuskan untuk bekerja.

Najwa Shihab menuturkan, "Kita tidak bisa hanya berharap pada perubahan individu perilaku saja. Kalau kita mau ada perubahan yang signifikan harus dilakukan di semua level. Di level individu, level organisasi, di perusahaan, dan tentunya bagaimana kita mengubah mindset dan stereotip. Dan itu tentunya butuh waktu yang banyak, butuh tenaga yang besar, dan butuh percakapan terbuaka di ruang publik, di media. Perlu ada perubahan kebijakan, legislasi yang lebih afirmatif terhadap perempuan. Ini usaha besar, panjang, yang harus dilakukan konsisten," tegasnya. 

IDN Channels

Latest from Inspiration