Museum Lubang Buaya merupakan tempat wisata edukasi yang menjadi saksi bisu salah satu peristiwa bersejarah di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Nilai sejarah yang kental membuat Museum Lubang Buaya kerap menjadi tempat yang dikunjungi oleh rombongan siswa yang sedang menjalani karya wisata.
Sebelum menjadi tempat bersejarah hingga didirikan museum, lokasi ini awalnya hanyalah sebuah kebun kosong. Kemudian, lahan yang luas tanpa bangunan tersebut dijadikan pusat pelatihan Partai Komunis Indonesia yang juga menjadi tempat pembuangan terakhir korban dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Awal penamaan 'Lubang Buaya'
Dikisahkan dalam sebuah legenda ada seseorang yang sakti bernama Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah. Pada abad ke-7, Mbah Datuk melakukan perjalanan ke Jakarta melewati Kali Sunter dengan menaiki getek.
Sial nasibnya, getek milik Mbah Datuk terbawa arus hingga masuk ke dalam lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter. Namun, secara ajaib Mbah Datuk tidak ikut tenggelam.
Mbah Datuk kemudian bertemu dengan siluman buaya putih bernama Pangeran Gagak Jakalumayung dan anaknya, Mpok Nok, yang berwujud buaya buntung. Dalam upaya menyelamatkan diri, Mbah Datuk pun harus berhadapan dengan kedua siluman tersebut.
Setelah berhasil lolos, Mbah Datuk kemudian sampai di kampung yang kini dikenal dengan nama Lubang Buaya. Konon, nama ini diberikan oleh Mbah Datuk setelah ia selamat dari pertarungannya dengan dua siluman buaya.
Tragedi kelam di Lubang Buaya
Daerah Lubang Buaya, yang kini menjadi museum, adalah saksi bisu betapa brutalnya Peristiwa G30S (Gerakan 30 September). Tepatnya pada 1 Oktober 1965 waktu dini hari, sebanyak enam jenderal dan satu perwira TNI AD dijemput secara paksa oleh pasukan Cakrabirawa di kediaman mereka masing-masing.
Dari ketujuh sosok tersebut, tiga di antaranya dibawa dalam keadaan meninggal dunia setelah tewas di kediamannya sendiri, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Panjaitan.
Bersama keempat orang lainnya—Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A Tendean—ketujuh tubuh tersebut dimasukkan ke dalam sumur di daerah Lubang Buaya. Setelah semua masuk, kemudian tubuh yang saling tumpang tindih tersebut dihujani oleh tembakkan.
Pada akhirnya, jenazah ketujuh orang tersebut berhasil ditemukan oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) berkat kesaksian seorang polisi bernama Sukitman. Dirinya berhasil melarikan diri setelah sempat dibawa paksa ke Lubang Buaya oleh kelompok gerakan G30S.
Proses evakuasi kemudian dimulai pada 3 Oktober 1965. Namun, jenazah baru dapat diangkat sehari setelahnya menggunakan tabung zat asam oleh evakuator. Di dalam sumur sedalam 12 meter, ditemukan sampah kain, dedaunan, dan batang-batang pisang yang menutupi tubuh-tubuh yang dipastikan sudah tidak bernyawa lagi.
Ketujuh korban dari Peristiwa G30S ini kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Revolusi. Seluruh korban dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata yang dalam proses pemakamannya dihadiri oleh puluhan ribu warga yang ingin memberikan penghormatan terakhir.
Monumen untuk mengenang jasa para pahlawan
Peristiwa G30S telah mengukir sejarah kelam. Setelah kejadian tersebut, atas prakarsa Presiden Soeharto, Monumen Pancasila Sakti dengan tujuh patung Pahlawan Revolusi pun mulai dibangun untuk mengenang perjuangan para pahlawan.
Wilayah Museum Lubang Buaya pun terbagi menjadi beberapa area. Pertama ada Sumur Tua yang merupakan saksi kekejaman dalam peristiwa G30S. Tak jauh dari Sumur Tua ada Rumah Penyiksaan yang menyimpan diorama tentang gambaran saat para jenderal disiksa.
Kemudian, ada Pos Komando yang kabarnya merupakan tempat mempersiapkan segala strategi penculikan para jenderal. Terdapat pula Museum Paseban yang menampilkan diorama rapat persiapan pemberontakan, latihan sukarelawan, penculikan Jenderal Ahmad Yani, hingga diorama pengangkatan jenazah Pahlawan Revolusi. Last, terdapat Ruang Relik yang menyimpan barang-barang terakhir yang dikenakan oleh para korban G30S.
Itulah sejarah di balik Museum Lubang Buaya yang kental akan nilai sejarah dan menjadi saksi bisu dari salah satu peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Museum Lubang Buaya ini terbuka untuk umum bagi kamu yang ingin mendalami sejarah.
Terletak di Jalan Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Museum Lubang Buaya buka setiap hari Senin sampai Sabtu dari pukul 10.00 WIB hingga 21.00 WIB dengan harga tiket sebesar Rp5.000 per orang.