Setiap tanggal 5 Februari, Indonesia selalu memperingati Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. Peristiwa ini merupakan salah satu kejadian penting bagi sejarah Indonesia yang jarang dibicarakan.
Pemberontakan Kapal Tujuh, merupakan pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan prajurit laut Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada dini hari di pantai lepas Sumatra, ketika Indonesia masih diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Adanya pemberontakan ini dilakukan oleh awak kapal perang De Zeven Provincien milik pemerintah kolonial, yang direncanakan akan dibawa berlayar sampai Surabaya.
Latar Belakang
Pemberontakan Kapal Tujuh terjadi di atas kapal laut HNLMS (Her Netherlands Majesty’s Ship), yang merupakan angkatan laut milik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pemberontakan ini dipicu oleh pemotongan gaji secara tidak adil oleh pemerintah, sebanyak 14% untuk pekerja dari Belanda dan 17% pekerja pribumi. Besaran gaji yang sejak awal memang tidak pernah adil antara pekerja Belanda dan pribumi, semakin membuat geram para awak kapal.
Penurunan gaji yang diputuskan oleh Bonifacius Cornelis De Jonge, selaku Gubernur Hindia Belanda, tidak mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Menyikapi hal tersebut, para pelaut Indonesia melakukan aksi mogok kerja pada 27 Januari 1933.
Kabar ini terdengar hingga ke kapal tujuh yang sedang berlabuh di Sabang, Aceh. Para pemimpin pelaut Kapal Tujuh Provinsi di Aceh pun langsung melakukan rapat dan mengancam para ABK (Anak Buah Kapal) untuk tidak meniru kejadian ini.
Merasa diancam dan marah akibat pengurangan gaji yang sebelumnya telah dilakukan, dua orang ABK berdarah Indonesia memimpin gerakan untuk memberontak di atas kapal, serta hendak membawa kapal ini berlayar ke Surabaya.
Meledaknya pemberontakan
Bukan hanya pelaut pribumi saja yang menentang pengurangan gaji, para pelaut dari Belanda pun tidak menyetujui kebijakan tersebut. Puncak pemberontakan dimulai pada 4 Februari 1993 pukul 22.00 WIB.
Dipimpin oleh Paridja dan Gosal dari pihak pribumi dan Maud Boshart dari pihak Belanda, kapal Tujuh Provinsi berhasil dibawa berlayar menuju Surabaya. De Zeven Provincien atau kapal Tujuh Provinsi, merupakan kapal perang terbesar milik pemerintah Hindia Belanda yang difungsikan sebagai tempat karantina para marinir.
Peristiwa pemberontakan ini tersiar luas berkat pers asing yang memberitakannya dengan tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris dan Melayu. Peristiwa ini tercatat sebagai pemberontakan anti kolonial pertama di kalangan pelaut Indonesia.
Dalam perjalanannya sebelum mencapai Selat Malaka, kapal Tujuh Provinsi sudah mengalami banyak halangan dari pemerintah Hindia Belanda. Kapal dikepung oleh berbagai pesawat tempur serta kapal selam yang sudah siap dengan persenjataannya.
Peringatan sudah diberikan, namun para pemberontak memilih untuk mengabaikannya. Akhirnya, salah satu pesawat mengeluarkan bom yang jatuh tepat ke arah kapal yang dikemudikan Kawilarang. Akibat serangan tersebut, banyak awak kapal yang meregang nyawa, termasuk pimpinan mereka Paridja.
Setelah Paridja dinyatakan meninggal, Kawilarang mengambil alih kepemimpinan. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera.
Pasca pemberontakan
Setelah banyak nyawa awak kapal yang berguguran dan membutuhkan bantuan medis segera, Kawilarang serta beberapa awak yang tersisa diminta menyerahkan diri, sebelum diajukan ke mahkamah untuk diadili kemudian dimasukkan ke dalam tahanan.
Dengan total 545 awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan. Sebanyak 20 awak kapal pribumi dan 3 awak Belanda dinyatakan gugur. Para pemberontak pribumi yang masih hidup, dibawa dengan kapal Hr.Ms. Java, dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan kapal Hr.Ms. Orion menuju pulau Onrust.
Sebagai pemimpin pemberontakan, Kawilarang mendapat hukuman selama 18 tahun penjara. Maud Boshart sendiri dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan sisanya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun penjara.
Mereka semua ditahan di pulau Onrust di Kepulauan Seribu, lepas pantai Batavia. Mereka yang gugur selama pemberontakan dimakamkan di Pulau Mati, Kepulauan Seribu.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kawilarang masuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), namun gugur saat menjalankan tugas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Seorang ahli sejarah J.C.H. Bloom beranggapan, aksi tersebut terjadi secara spontan, karena sikap buruk dari Angkatan Laut Belanda pada masa itu.